Minggu, 05 Desember 2010

hiburan dan bencana

Seminggu belakangan ini warga kampungku mendapat hiburan baru, melihat banjir lahar dingin di kali Boyong.  Debit air sungai meningkat tajam, arusnya sangat deras, deburan airnya seperti ombak di lautan, indah sekali. Kami semua tak henti-henti memandanginya.  Kami terhibur, kendati hati ini was-was juga, bagaimana jika nanti tanggul jebol dan kampung kami terendam banjir?  Atau bagaimana jika tanggul jebol dan longsor menenggelamkan rumah-rumah yang tepat bertengger di atas tebing?  Risiko itu tak terlampau mengganggu keasyikan kami.  Bahkan kami sejenak lupa oleh sesak napas akibat hujan debu dan pasir Merapi yang mewarnai hari-hari kami sebelumnya.  malamnya, ketika kami menyaksikan siaran televisi, aduh mak... ternyata banjir lahar dingin yang menghibur kami, menjadi bencana bagi warga di belahan hilir.  Rumah-rumah mereka terendam banjir, tertimbun pasir, perabotan hancur dan tak sedikit yang terbawa arus.  Para penghuninya mengungsi ke tempat aman.  Antara hiburan dan bencana hanya beda tipis, bahkan keduanya berasal dari obyek yang sama. 

Senin, 29 November 2010

Penjual Gerabah

Ruang ini memuat hal-hal atau apa saja dari hasil pengamatan lapangan yang unik, yang langka, yang terpinggirkan.  Di akhir tulisan ada pertanyaan atau pernyataan yang bisa Anda komentari dan jawab. Trimakasih..... 

Di pasar tradisional tempat aku belanja setiap dua hari,  ada penjual aneka gerabah.  Sewaktu saya kecil, seingat saya penjualnya wanita setengah baya.  Ketika aku menginjak remaja si penjual kian menua.  Suatu kali ketika aku menginjak dewasa, si penjual diganti wanita muda.  Kini tatkala aku sudah beberapa tahun berkeluarga, penjual gerabag itu pun mulai  meninggalkan usia paruh bayanya. Ketika anakku memasuki usia sekolah si penjual yang sudah menginjak tua itu diganti wanita muda yang mengajak balitanya.  Si penjual memang berganti-ganti generasi, tapi tak ada ekspansi barang dagangan. Macam dan bentuknya itu-itu saja.  Wajan dan anglo tanah liat, kipas dan keranjang bambu,  kendil atau kuali dari yang terkecil hingga yang besar, parut kayu dan tusuk sate, aneka sikat keramik, sapu ijuk dan lidi. Pembelinya hanya satu dua bahkan lebih sering tak ada.  Tak jauh darinya ada kios ikan segar dan daging ayam potong yang dirubung pembeli setiap pagi.   
ilustrrasi produksi gerabah
Sementara itu, di pinggir jalan yang kulewati setiap kali ke pasar muncul aneka bentuk pusat perdagangan baru, mulai dari outlet dengan aneka gerobak cantik sampai minimarket dengan sistem franschise maupun toko-toko besar  milik perorangan.  Aku jadi ingat si penjual gerabah, mampukah ia memasuki alur perdagangan yang ekspansif seperti ini.  Aku sadar dan sudah tahu jawabannya pasti tidak!  Suatu malam aku bermimpi, si bayi yang diajak berjualan di kios gerabah mendatangiku.  Usianya telah menginjak remaja.  ia mengeluh lalu menangis tersedu, terbata-bata ia berkata dan bertanya padaku: "Bu aku tak mau jadi penjual gerabah bila besar nanti.  Adakah solusi untukku?"  Tak tega aku untuk berkata tidak.  "Any idea guest?"  Help me please.......         

Minggu, 28 November 2010

Nama Orang, Nama Tempat Aktivitas

Ruang ini memuat profil manusia tua muda, anak-anak, kakek, nenek, bapak-bapak, ibu-ibu yang sedang:

- melakukan aktivitas sehari-hari (menimba air, petan atau cari uban, memasak di anglo/keren, merumput, menggembala kambing dll).

- bekerja di sektor tradisional (membajak sawah, menjajakan barang/jasa keliling, menarik becak, menjual dagangan di pasar tradisional, menambang pasir dengan peralatan sederhana, menyapu jalan, mencari sarang semut, memecah batu kali dll). 

Contoh

Judul: Karyo Mendo

Namanya Karyo Mendo, tinggal di desa Glagahrejo, Kecamatan Ngaglik Sleman Yogyakarta.  Ayah enam anak ini tak memiliki pekerjaan tetap.  Selagi muda ia bekerja serabutan, membersihkan atap rumah, memetik kelapa atau melinjo, menyiangi rumput di rumah tetangga, mengganti genteng bocor atau menambal talang.  Pada tahun 70-an upahnya sebesar Rp 100-Rp 125 per hari.  Jumlah itu cukup untuk membeli dua kilogram beras kualitas rendah, sepuluh potong tempe atau tahu dan dua ikat sayur beberapa macam bumbu. Jatah makan untuk delapan orang anggota keluarganya.  Ada sisa Rp 5 untuk ditabung.  Uang yang terkumpul menjadi dana cadangan  jika tak ada pekerjaan.  Bila tabungan kosong dan tetap belum ada order pekerjaan ia akan menggali lubang utang ke rentenir.  Pada tahun 80-an, upahnya naik menjadi sekitar Rp 1000-1500 per hari.  Kenaikan mata uang ini tak menaikkan taraf hidupnya.  Jumlah itu hanya cukup untuk membeli dua kg beras kualitas rendah, sepuluh potong tempe dan sepuluh potong tahu, dua ikat sayur dan beberapa macam bumbu.  dst-dst.....

Sabtu, 27 November 2010

The Power of Selegence

ilustrasi
Kisah hidup seorang papa
peraih predikat bisnisman terkaya
sebelum menggemparkan dunia
ia menjelma jadi raksasa

Pagi itu di kota Yogya tak ada peradaban tersisa, tampaknya.  Kemarin seharian, berlanjut tadi semalaman ada raksasa mengamuk.  Ia kejam, bengis, brutal, melebihi sejuta Firaun yang gemar mengumbar kecenderungan alamiah lupa daratan dan hilang perikemanusiaan.  Semua binasa tak bernyawa, tanpa tersisa, kecuali si raksasa.    Rumah-rumah rata tanah,  gedung-gedung hancur, jembatan ambruk, permukaan tanah anjlok,  menyisakan lubang-lubang menganga di mana-mana, di kota maupun seluruh pelosok desa. Jasad manusia bergeletakan layaknya taburan  ikan teri di  atas rempeyek, kaku dan beku.  Setelah misi penghancurannya selesai,  raksasa itu merebahkan badan.  Kepalanya beralaskan Gunung Merapi di sisi utara, badannya tergolek membujur dari kaki Merapi, menyeberangi kota  hingga kawasan pantai  selatan, kakinya menjorok ke Samodra Hindia, persis sepasang tanjung kembar.  Tubuhnya tergolek pulas, lelah rasanya. Suara dengkurnya terdengar jelas di langit Indonesia, samar-samar di Benoa Australia dan sayup-sayup di seluruh wilayah Asia Tenggara.  Dalam tidurnya itu  ia terus, terus dan terus membesar, membengkak, sekaligus kian memanjang.  Belum genap satu minggu berlalu, kepalanya sudah mencapai bibir laut utara, kakinya lebih jauh lagi melanjak ke tengah samodra.  Badannya kian membengkak seperti balon berbentuk bakpao yang tak henti dipompa.  Semua berjalan  secepat kilat, serba tak terduga dan sama sekali tak pernah disangka-sangka.   Gempar tak hanya melanda masyarakat Yogyakarta yang selamat di pelarian,  tetapi juga seluruh warga Indonesia.  Dunia pun heboh karenanya. Semua penghuni planet bumi, tak terkecuali, sungguh ngeri menanti datangnya kiamat dini.